Stoorle

Tidak ada yang perlu dibagikan lagi. Terimakasih. :)

Selasa, 16 Maret 2021

Jumat, 09 Juni 2017

[Read] Vibrate

Langit setelah hujan adalah langit biru penuh cahaya. Langit yang dihiasi awan putih dan burung terbang tanpa rasa takut.

Kalau dipikir kembali, sudah berapa tahun hujan turun tanpa henti. Langit diselimuti awan gelap dan udara dingin menusuk setiap mili pori-pori kulit.

Yang kurasakan hanya dingin dan kesedihan yang bertubi-tubi. Terkadang, aku mencoba melupakan kegelapan itu dengan menyalakan sebuah lilin. Aku merasa hangat di dekatnya, aku melakukan apapun ditemani cahaya kecil itu. Tapi beberapa menit berselang, cahayanya padam dan kegelapan kembali menyelimuti. Udara terasa hampa dan menjadi dingin yang mencekat. Kemudian kesedihan kembali datang membabi buta.

Apakah kamu masih membohongi dirimu sendiri ?
Apakah kamu masih mencoba lari dari kebenaran yang diteriakan oleh hati kecilmu ?
Apakah kamu masih bergantung dengan cahaya sesaat untuk menutupi segala kegelapan yang hampir-hampir menelanmu ?

Sebenarnya kamu tidak sendiri. Jutaan umat manusia masih berjalan tanpa arah dalam kegelapan. Mereka merindukan cahaya hangat sang mentari, tapi mereka tidak tahu harus berjalan kemana, tidak tahu harus menatap kemana.

Beberapa bulan yang lalu, hujan yang sudah turun selama berpuluh-puluh tahun itu mulai reda dengan satu teriakan.
Teriakan dari mulut yang kubungkam di tengah derasnya hujan.
Perlahan, suara itu kubebaskan.
Mulanya tidak terdengar karena suara air dari langit yang begitu riuh.

Samar-samar, suara itu muncul ke permukaan. Suara yang akhirnya menjadi titik balik terbesar dalam kehidupanku.

"Apakah kamu akan berakhir seperti ini ?"

Ya. Apakah aku akan berakhir dengan kondisi seperti ini ?
Terpuruk dalam gelimang dunia fana. Tidak pernah merasa bahwa Sang Maha Raja selalu melihat. Tidak pernah berfikir bahwa segala sesuatu ada balasannya.

Suara yang terpendam puluhan tahun itu muncul dengan membawa ribuan pertanyaan.

Apa yang harus kulakukan ?

Kemudian aku berlari di tengah kerumunan yang meneriakan "Sok suci" dan berbagai pertentangan.
Aku berlari, pergi menjauh, menyendiri di sebuah pulau kecil berteman sebuah pohon kelapa yang teduh.
Aku memulai perjalanan untuk pergi dari tempat yang dilanda hujan badai.
Pergi untuk mencari seberkas cahaya yang belum pernah kulihat.

Untuk teman yang terjebak di tempat yang sama.

Pergilah.

Itu bukan melarikan diri. Itu adalah bentuk perlawanan terkuat.

Apa yang terjadi pasti terjadi karena suatu alasan.
Apa yang mereka katakan pasti terdengar karena suatu alasan.

Kuatlah.

Berjuanglah.

Karena hidup tidak mudah, maka manusia harus berjuang sekuat tenaga.

Apakah kamu akan berakhir seperti itu ?

Vibrate (Jakarta, 15 Mei 2017) | ©Candra Nugroho

Minggu, 04 Juni 2017

[Read] Juvenile

Mari kita bicara sejenak. Mungkin di cafe, restoran, di tepi pantai atau di puncak bukit.

Mari kita bicara tentang diri kita masing-masing. Aku bukan hendak mengajarimu sesuatu, karena aku juga butuh pengajaran itu.

Tuhan kita adalah Tuhan Yang Satu. Tidak ada yang lain selain Dia. Seharusnya kamu sudah mengerti tentang hal itu.

Beberapa hari yang lalu, temanku berkata.

"Aku bertanya kepada anakku yang berusia tiga tahun tentang Allah. Aku bertanya 'Dimana Allah, nak ?'
Sejenak dia berfikir kemudian dia menunjuk ke atas langit."

Allah ada di atas sana. Kekuasan-Nya meliputi segala sesuatu. Begitu juga pengetahuan-Nya.

Mari kembali kepada diri kita.

Saat itu umurku sekitar 13 tahun atau lebih muda dari itu.

Langit sangat gelap dan hujan pun turun. Aku tidak tahu kenapa ada kesedihan yang menusukku bertubi-tubi. Seperti aku pernah mengalami hal yang sangat menyakitkan. Aku tidak menemukan jawabannya hingga sekarang.

Dan sekarang, saat hujan turun aku merasa ada beberapa kepingan gambar tentang masa lalu yang muncul. Lalu kenapa saat itu aku tidak merasakannya ?

Mungkin saat itu adalah saat dimana Allah mulai menanamkan gambaran-gambaran itu.

Kamu masih belum mengerti ?

Dulu aku pernah melakukan hal-hal buruk. Bukan karena aku belum mengetahuinya. Tapi aku mencoba menolak kebenaran yang dibisikan hatiku dan mencoba menerima kebebasan yang kubuat sendiri.

Ya aku pernah seperti itu.

Bukan sebelum kebenaran datang. Tapi setelah kebenaran itu sangat jelas di depan mataku yang kututup rapat-rapat.

Sebenarnya dunia ini bergerak menuju akhir. Aku dan dirimu harus menerima bahwa suatu hari kita harus beranjak pergi.

Lalu kemana ?

Dulu aku sering sendiri di puncak bukit selama berjam-jam hanya untuk mencari jawaban tentang pertanyaan itu.

Sampai suatu hari aku sadar bahwa memang kita akan dikembalikan ke suatu tempat.

Lalu untuk apa ?

Tentu saja untuk mendapat keadilan yang sesungguhnya.

Sekarang begini. Di sudut dunia sana, ada seseorang yang membunuh jutaan orang. Kemudian di sebuah kota, ada seseorang yang membantai satu keluraga. Dan di desa sebelah, ada seseorang yang mencuri beberapa ekor ayam.

Si pembunuh jutaan orang dieksekusi oleh pemerintah dengan hukuman gantung.

Si pembantai satu keluarga dieksekusi dengan satu buah peluru yang ditembuskan ke jantungnya.

Dan si pencuri ayam, dieksekusi penduduk dan dibakar hidup-hidup.

Sekarang bagaimana menurutmu ?

Apakah ada sebuah kesetaraan dalam hukuman itu ?

Meskipun sama-sama mati tapi, apakah satu kematian bisa menebus satu juta kesedihan yang sudah terjadi ?

Atau apakah satu nyawa manusia sama dengan nyawa dua ekor ayam ?

Suatu hari, di suatu tempat yang belum pernah kita lihat, keadilan akan ditegakkan.

Membunuh satu orang, akan dibalas sepadan dengan apa yang dia lakukan. Tuntas dengan semua kesedihan yang dia tanamkan di hati orang yang berhubungan dengan pembunuhan itu.

Begitulah. Dia Yang Maha Adil.

Dan sekarang, apakah kamu merasa aman dengan keadilan-Nya ?

Apakah kamu merasa kita semua akan berakhir sama ?

Aku, kamu, dia. Kita semua mati dalam keadaan sama dan berakhir di dalam tanah dan semua menjadi gelap begitu saja ?

Tidak akan pernah seperti itu, temanku.

Suatu hari aku akan dibalas karena apa yang sudah kulakukan dan kamu akan dibalas sesuai dengan apa yang kamu lakukan.

Tidak kurang dan tidak lebih.

Untuk dirimu yang membaca tulisan ini. Sekali lagi, aku tidak berniat menngguruimu. Karena aku adalah hamba yang fakir. Aku tidak mengetahui apapun selain yang diizinkan-Nya untuk ku ketahui.

Mari kita kembali. Aku tidak sempurna dan kamu pun begitu.

Aku sedang mencari dan kamu pun begitu.

Kalau bukan sekarang, mau menunggu berapa kali lagi kamu akan dihidupkan untuk menerima Allah ?

Tulisan ini akan berakhir dan aku berharap kamu mendapat sesuatu dari-Nya.

Jadi mari, katakan "Ya Allah ampuni aku."

Allah akan mengampunimu dan menempatkanmu dalam golongan hambanya yang beruntung.

Insyaa Allah.

Jumat, 19 Mei 2017

[Read] Istoria

Kemari, nak. Aku punya cerita untukmu.

Di sudut dunia yang jauh di utara, ada seorang perempuan berkulit hitam dan berambut keriting. Dia berasal dari keluarga miskin dan hidup di tengah kejahatan kaum adam. Dia bahkan melihat ibunya diperkosa di depan matanya.

Kemudian apa yang menarik, nak ?

Saat ini dia menjadi duta perempuan dunia. Dia berhasil lolos dengan keajaiban. Melewati berikade militer yang mengepung negaranya kemudian melarikan diri ke negara lain.

Kurasa kurang tepat jika dikatakan melarikan diri. Lebih tepatnya dia mulai melawan. Memberontak dan mengatakan bahwa dia lebih kuat dari rasa takutnya kemudian dia merusak sangkar itu dan terbang bebas menyelamatkan ribuan perempuan di negaranya.

Kemudian ada suatu hari di masa lalu. Dua anak muda yang melihat capung terbang di pinggir sungai kemudian mereka bermimpi setiap malam. Dalam mimpi itu, mereka berdua terbang menaiki capung itu dan melihat dunia yang luas dari angkasa. Mereka kemudian mengumpulakan kayu dan merakitnya sedemikian rupa kemudian mengatakan bahwa mereka akan terbang.

Seluruh desa menertawakan mereka. Bahkan orang tua mereka.

Dan saat mereka mulai serius. Penduduk desa menganggap mereka gila.

Lalu apa yang terjadi setelah itu ?

Beberapa tahun kemudian, suara tawa dan hinaan mulai mereda bahkan mulut penduduk desa menganga saat melihat dua pemuda itu duduk di atas capung dan terbang di atas mereka.

Ada lagi, nak.

Dulu, ada seorang lelaki tua yang mencoba menerangi dunia dengan cahaya saat matahari sudah lelah dan tertidur.

Dia berusaha siang dan malam untuk mewujudkan cahaya itu. Terus seperti itu sampai dia menemui hari ke seribu dalam percobaannya.

Kamu tau, nak ? Dia mulai putus asa.
Kemudian dia menganggap bahwa satu lagi percobaan dan itu yang terakhir.

Dan benar itu adalah yang terakhir karena saat itu untuk pertama kalinya dia melihat cahaya dalam kegelapan malam. Cahaya yang memantul dalam tetes air matanya.

Dan satu lagi, nak.

Dulu ada seorang anak muda yang terus berjuang. Memiliki mimpi untuk mengubah keadaan kaumnya seperti perempuan di sudut dunia utara itu.

Memiliki mimpi untuk terbang tinggi ke langit seperti dua pemuda itu.

Juga mimpi untuk melihat cahaya dalam kegelapan.

Pemuda itu berusaha untuk mewujudkan apa yang membuatnya bisa merasakan kepuasan pernah hidup di dunia.

Lalu pada suatu titik, pemuda itu mengalami hal yang sama seperti apa yang dialami oleh para pejuang di masa lalu.

Ejekan, cemoohan, hinaan kemudian ketidakpercayaan. Semua menjadi awan gelap yang menyelimuti pemuda itu.

Kemudian pada suatu sore, ada seorang kakek yang datang dan duduk di samping pemuda itu. Dia memberikan sebuah buku kecil kosong.

Sang kakek mengatakan bahwa si pemuda harus menulis semua impiannya dalam buku itu kemudian mengatakan kepada masa depan untuk datang dengan semua senjata terkuatnya.

Kemudian sang pemuda mulai menulis. Setiap hari. Menulis semua impian yang dia miliki.

Kemudian mengatakan "Datanglah, dengan semua senjata terkuat yang kalian miliki. Aku akan menghadapinya."
Dia mendengar semua hinaan manusia tapi dia terus menulis dan melangkah maju sampai pada titik dimana dia mencapai semuanya.

Dan saat ini giliranmu untuk mencapai apa yang para pejuang itu capai, nak.
Ambillah buku ini dan tulis mimpimu. Kemudian katakan bahwa impian manusia tidak akan pernah berakhir.

*fin

Rabu, 26 April 2017

[Read] Dear,

Musim panas adalah siang yang terik dan malam yang dingin.

Kurang lebih seperti itu yang tergambar dalam benakku.

Aku masih menulis saat pesan darimu masuk ke ponselku beberapa bulan yang lalu.

Sebuah pertanyaan klasik.

Kabar ?

Tentu saja kabarku sedang tidak baik. Karena itulah aku berbohong kepadamu dan menyampaikan bahwa aku baik-baik saja.

Sejak saat itu, sudah dua festival musim panas yang aku hadiri. Dan tentu saja, aku hanya bisa membaginya lewat foto untukmu.

Anna.

Lewat teks yang kamu kirim dan perasaan yang lama yang kembali muncul, sungguh aku mencintaimu.

Aku pernah dekat denganmu dan kamu mungkin sudah melupakannya. Tapi sejak festival musim panas pertama yang aku hadiri saat aku kembali dekat denganmu, memori yang terkurung selama empat tahun itu kembali merangkak keluar.

Aku bisa mengingat setiap huruf dan detail dari pesan yang kamu kirimkan saat kita berusia 15 tahun.

Sudah lama ya ?

Kemudian ketika musim hujan kedua yang kita lewati, aku berpikir apakah kita bisa bertemu ? Sudah lebih dari 2 tahun sejak terakhir kali aku melihatmu.

Melihatmu dari dalam bus yang melaju lewat depan rumahmu. Dirimu yang mungil dengan kulit putih dan rambut panjang hitam.

Anna.

Sudah sejauh mana kita melangkah ?

Apakah aku sudah siap untuk berjanji tentang masa depan ?

Kemudian di bawah langit pukul 3 sore, aku bertemu denganmu.

Tubuhku hampir menggigil ketika tanganmu menjabat erat tanganku. Mungkin wajahku saat itu sungguh tidak karuan saat berhadapan dengan wajah cantikmu.

Kemudian, melewati jembatan layang yang membuat kita bisa melihat langit yang berwarna merah tembaga.

Hari itu, hujan tidak turun.

Kemudian kita menonton sebuah pertunjukan yang menceritakan tentang seorang laki-laki yang jiwanya tertukar dengan seorang perempuan. Plot twist yang menarik karena di sana ada bencana dan perpisahan.

Kemudian kembali berjalan ke sebuah tempat makan. Kira-kira saat itu pukul 11 malam. Udara dingin dan gerimis kecil mulai turun.

Di depan kampusmu, kita berhenti.

"Makan yuk." Katamu.

Aku mengiyakan karena saat itu aku pikir waktu tidak bersahabat, bahkan terasa menjadi musuh karena berjalan terlalu cepat.

Hampir tengah malam dan hujan berhenti. Tempat itu hampir tutup dan tinggal menyisakan kita berdua.

"Ada yang ingin kamu sampaikan ?" Tanyamu.

Tentu saja ada. Banyak sekali. Sangat banyak. Bahkan jika waktu berlalu sampai besok pagi pun, masih banyak hal yang ingin kusampaikan.

"Anna. Sebelumnya aku minta maaf atas semua yang terjadi. Atas semua yang sudah berlalu."

"Saat ini. Jujur dari dalam hatiku, aku mencintaimu."

Aku mengatakannya dengan lancar. Entah kenapa. Aku gugup, tanganku gemetar dan tubuhku dingin. Tapi hati, otak dan mulutku bisa berfungsi normal.

Dan aku sudah mengatakannya.

Mungkin itu adalah ringkasan dari semua yang ingin aku sampaikan.

Mungkin dua atau tiga tahun lagi kita tidak akan bertemu. Tapi dalam hatiku, aku berjanji. Saat kita bertemu kembali, aku akan menjadi orang yang lebih baik.

Dan senyum manismu itu terasa sudah memberikan ribuan jawaban yang kuinginkan.

"Bikin cerita yang endingnya bahagia dong." Katamu sambil tertawa.

Aku memang tidak mengharapkan jawaban apapun darimu. Cukup senyum indah itu saja.

Kemudian ketika tengah malam hampir tiba, lambaian tanganmu menandakan perpisahan yang sedikit membuat dadaku sesak.

Setelah ini, kita berdua akan berpisah ratusan kilometer. Sangat jauh dan tidak bisa aku jangkau dengan kekuatanku sendiri.

Kemana aku akan membawa perasaan ini ?

Lalu tentang semua yang sudah kutulis. Tentang pandanganku soal kehidupan.

Aku membuktikan bahwa perjuangan manusia adalah sia-sia. Ketika mereka berhasil mencapai sesuatu, suatu hari mereka juga akan mati dan kehilangan itu semua.

Pikiranku selalu mengatakan bahwa apa yang dilakukan manusia itu sia-sia.

"Bukankah karena itu, manusia harus berjuang ?" Pesanmu menyadarkanku.

"Karena manusia bisa mati, maka mereka harus berjuang."

"Pasti." Tulismu.

"Setiap langkah kecil yang kita ciptakan akan membawa kita kepada hal yang besar."

Lalu aku teringat tentang Edward yang tidak menyerah untuk menyelamatkan Alphonse, adiknya.

Tentang Lan Fang yang memotong tangan kanannya sebagai pengalih perhatian agar tuannya bisa melarikan diri.

Atau seorang Aron Ralston yang tidak menyerah selama 127 jam saat terjebak di Grand Canyon.

"Lalu, jika kamu masih ragu." Lanjutmu.

"Ingatlah semua yang sudah kamu lalui di kampung halamanmu."

Kemudian gambaran Ibu terlihat sangat jelas. Dua adik kecilku tersenyum sambil menggenggam erat tangan Ibu.

Dan angin musim panas yang sejuk itu bertiup.

Aku kembali menulis.

Tentang seseorang yang pulang karena ingin bertemu dengan masa lalunya.

Tentang seseorang yang bertemu dengan masa lalu yang tidak bisa dia lupakan.

Tentang seseorang yang ingin keluar dari kehidupannya kemudian pergi ke tempat yang baru.

Dan tentang seorang prajurit yang jatuh cinta kepada seorang putri.

"Itu sad ending semua." Tulismu dalam pesanmu.

"Tunggu ya." Jawabku.

Untuk saat ini, aku belum mampu.

Aku belum pantas untukmu.

Terlalu jauh di dalam lubang.

Lalu, aku kembali mengulangi janji untuk berubah.

Dan saat kita bersama nanti, mungkin aku bisa menulis dengan lebih baik.

*fin

Sabtu, 04 Maret 2017

[Read] Klandestin

Kamu tahu ?

Merindukanmu bagaikan pisau bermata dua. Kadang hal itu menyenangkan, terkadang hal itu begitu menyakitkan. Bagaikan menghimpit dada dan menyesakkan tenggorokan.

Kisah ini adalah kisah klasik tentang seorang prajurit yang jatuh cinta kepada seorang putri.

Kamu tahu ?

Ketika itu Sang Putri berkata

“Kita akan berjuang bersama.”

Kemudian sang prajurit mengiyakan, dengan kepolosan dan kebutaan karena cinta yang mendalam.

Kemudian di bawah pohon rindang di pinggir jalan utama yang panjang jauh membentang, mereka berpisah.

Sang Putri kembali menuju kerajaan yang megah laksana surga dunia bagi yang memandangnya dan Si Prajurit kembali ke gubuknya, kembali menemui ibunya yang hampir sekarat dimakan usia, yang selalu melantunkan syair sepanjang dia berbaring di ranjangnya.

“Nak, saat aku tua nanti. Maukah kamu membangunkan rumah dari emas untukku ?”

Selalu begitu, selalu terulang. Lagi dan lagi.

Si Prajurit hampir-hampir tidak mempedulikannya kalau Sang Ibu tidak meminta diambilkan segelas air.

Ketika segelas air hinggap di tangannya, Sang Bunda masih mampu duduk saat putranya duduk di sampingnya.

“Nak, saat aku tua nanti. Maukah kamu membangunkan rumah dari emas untukku ?”

Si Putra tidak mempedulikannya kali ini, dia hanya tertunduk lesu, lemah dan lemas.

“Besok aku akan berangkat ke Klandestin.”

Sang Ibu menatap putranya dengan keheranan, tidak tau apa yang Si Putra maksud.

“Nak, saat aku tua nanti. Maukah kamu membangunkan rumah dari emas untukku ?”

Si Putra mulai muak.

“Bisakah ibu tidak mengatakan hal itu setiap saat ?” Suaranya meninggi.

Sang Ibu menatapnya kebingungan sambil meletakkan segelas air yang tidak diminumnya di atas ranjang dan air itu tumpah membasahi ranjang. Si Anak tidak peduli.

“Besok aku akan berperang ke Klandestin. Kerajaan kita akan merebut tanah mereka. Jika kita menang kita akan membawa harta rampasan yang banyak. Kita akan kaya, bu.” Kata Si Putra sambil tersenyum kecut dan keringat mulai menetes di dahinya. Mencoba menghilangkan ketakutan.

“Nak, saat aku tua nanti. Maukah kamu membangunkan rumah dari emas untukku ?”

“Ya. Tentu saja, bu. Bukan hanya rumah emas. Apapun yang ibu inginkan akan aku penuhi.” Pikiran Si Putra berputar membayangkan kemenangan.

Sang Ibu tersenyum dan berkata.

“Kalau begitu, saat ayahmu sudah berubah menjadi batu, maukah kamu menjagaku ?”

Si Putra terperangah. Menatap ke depan dan bayang-bayang tubuh ayahnya yang terkoyak di depan matanya waktu itu mulai membuat air matanya menetes. Deras. Sangat deras.

Hujan di luar mulai turun. Mendung hitam menyelimuti langit. Tanah gersang kerajaan mulai basah.

Tanaman yang tidak mampu tumbuh dalam beberapa tahun mulai dipenuhi harapan untuk kembali hidup.

Di kerajaan, para menteri menganggap hal ini sebagi pertanda baik untuk penyerangan esok hari.

Sang Putri berhias di depan cermin berbingkai emas yang indah.

Wajahnya dipenuhi senyuman cantik. Pikirannya dipenuhi dengan kenangan tadi siang. Kenangan tentang sebuah ciuman di bawah langit ungu, di antara air kecil yang menetes dari atas. Dan sebuah janji yang dikatakan Si Prajurit,

“Aku akan menang dan membawa emas yang banyak, kemudian aku akan menemui ayahmu dan meminangmu.”

Senyum cantik itu tidak mau berhenti, rasa gembira yang tidak tertahankan membuatnya melompat ke ranjang putih empuk dan memeluk bantal lembutnya. Di tengah gemuruh hujan, berbagai pikiran bahagia menyelimutinya. Sang Putri tidak mau membiarkan sedikitpun pikiran buruk melintas di benaknya. Sang Putri membenamnya dalam-dalam.

Kenapa mereka berdua tidak memiliki pikiran yang sama ?

Kenapa ? Padahal mereka saling mencintai ?

Pada suatu hari yang sudah berlalu. Sang Ibu Prajurit mengatakan sesuatu di depan Sang Ayah yang sedang berkemas dan memakai baju perangnya bersama Sang Anak yang melakukan hal yang sama.

“Lihat anakmu ini. Melakukan hal yang memalukan. Kemarin, Menteri datang ke rumah ini, beliau mengatakan kalau anak ingusan ini membawa pergi Sang Putri ke pinggir danau. Sudah gila dia.” Sang Ibu membentak.

Sang Ayah dan Anak tampak tidak menggubrisnya.

“Lihat sekarang, ayahnya pura-pura tuli. Katakan kepada anakmu itu, kita tidak bisa melampaui kasta. Suruh dia berfikir menggunakan logikanya.” Sang Ibu masih membentak.

Sang Ayah dan Anak masih tampak tidak menggubrisnya.

“Bermimpi boleh, tapi yang masuk akal.

Menikahi anak Raja ?

Sudah gila dia rupanya.” Sang Ibu tidak menurunkan nada suaranya.

“Kami akan berangkat.” Sang Ayah berdiri diikuti Si Anak.

“Lihat, kalian tidak menganggapku sama sekali. Lebih baik kalian tidak kembali.” Kemarahan Sang Ibu membutakan mulutnya.

Sang Ayah menghela nafas panjang, Si Anak hanya berdiri diam di belakang Sang Ayah.

“Sayang, kami akan kembali dan membangunkan rumah dari emas untukmu.” Kata Sang Ayah sambil tersenyum.

Mereka berdua pergi bersama lebih dari seribu prajurit menuju Klandestin.

Saat itu, di medan perang. Sang Anak yang baru berusia 17 tahun mengayunkan pedang dengan membabi buta. Ketakutan ketika melihat darah yang mengalir dan memancar mengenai wajahnya tidak mampu dia atasi.

Sang Ayah tidak mampu menahan pikiran tentang putranya. Kembali mendekatinya dan melindungi layaknya seorang ayah. Sampai sebuah pedang tajam menebas baju perangnya berkali-
kali dan hancurlah baju itu.

“Pulanglah dan bangunkan rumah emas untuk ibumu.” Kata Sang Ayah sambil tersenyum.

Si Anak tidak mampu melakukan apapun, darah Sang Ayah mengalir di tangannya. Seorang prajurit menyeretnya menjauhi tubuh tak bernyawa itu.

Kerajaan kalah. Mereka mundur. 500 prajurit berhasil pulang dengan berbagai kondisi. Perjuangan mereka sia-sia.

Dan hari ini.

Hal itu akan diulangi atau diperbaiki. Sebuah balas dendam yang direncanakan Raja karena gengsi dan martabatnya yang turun setelah kekalahan waktu itu.

Seribu prajurit kembali ke medan pertempuran di Klandestin.

Berbagai harapan mereka bawa di balik baju zirah besi yang mereka kenakan. Ada yang terpaksa, ketakutan, pikiran melayang melewati batas semesta dan penantian akan akhir yang menggembirakan. Kemenangan, tentu saja.

Hujan tidak turun, tapi langit masih diselimuti mendung sisa kemarin.

Sang Ibu masih bergumam lirih,

“Nak, saat aku tua nanti. Maukah kamu membangunkan rumah dari emas untukku ?”

Sang Putri bergumam lirih,

“Kita akan berjuang bersama.”

Dan Sang Prajurit yang memikul beban berat, antara Sang Ibu dan Sang Putri yang dia cintai, bergumam lirih,

“Dunia ini tidak seperti yang aku inginkan.”

Tentu saja begitu. Bukankah kamu juga merasakannya ?

Memang bias dalam kehidupan saat ini, mereka bilang bahwa kita semua setara, kita tidak boleh membedakan apapun atau siapapun. Tapi, pada kenyataannya. Mustahil seorang budak menikahi putri tuannya dengan ikhlas tanpa paksaan. Jika Sang Tuan yang ingin, dia bisa melakukan apapun, tapi lain halnya dengan Si Budak. Dia tidak akan mampu bergerak satu sentimeter pun saat Tuannya mengatakan jangan bergerak.

Mereka berkata, “Huh, apa yang akan kalian lakukan kedepannya nanti ?”

“Tanpa uang bisa apa ?”

“Tanpa jabatan bisa apa ?”

“Tanpa pekerjaan bisa apa ?”

Begitu kan ?

Kemudian kita berjalan, bergerak mengikuti arus itu dan kalau kita menyimpang sedikit mereka akan mengatakan,

“Tetap di garis lurus, nak ?”

Kalian berfikir ini hal yang negatif ?

Logika kalian mengatakan begitu ?

Ya, kalian benar jika kalian berfikir hal ini negatif, karena kalian sudah berjalan dan bergerak di garis lurus itu.

Logika manusia sebatas logika manusia. Tidak lebih tidak kurang. Mereka memustahilkan apapun yang tidak dilandasi dengan harta, kekuasaan dan kejayaan.

Kemudian gemuruh perang terdengar. Teriakan demi teriakan.

Kedua belah pihak membawa harapan masing-masing. Merasa mereka adalah kebenaran dan pihak lain adalah kejahatan.

Kemudian saat ribuan pedang beradu, gemuruh kaki kuda yang berlarian, hujan turun dari langit. Sangat deras. Air menjadi merah ketika menyentuh tanah. Tanah kering di Klandestin. Menjadi saksi perjuangan Si Prajurit yang ingin menikahi Sang Putri.

Setiap tebasan pedangnya, dia bergumam lirih dalam keputusasaan.

“Ah, dingin sekali.”

“Sakit sekali.”

Membayangkan dia pernah ditendang oleh Raja ketika berusaha mengatakan maksudnya.

“Pergi ! Jangan kembali sebelum kamu mampu membangun rumah dari emas.” Bentak Sang Raja.

Si Prajurit tersenyum.

“Ah, tidak mungkin.”

“Aku seorang laki-laki, tapi aku tidak tau apa yang harus kulakukan.”

“Rumah dari emas ? Entahlah.”

“Aku akan hidup untukmu dan ternyata itu tidak mudah dilakukan. Lebih tidak mudah lagi untuk mengatakannya saat kamu sudah mengetahuinya.”

“Aku akan mati untukmu dan itu mudah sekali untuk dikatakan. Sebilah pedang untukmu dan tebas saja aku.”

Masih seperti waktu itu, di lokasi yang sama. Tempat Sang Ayah meninggal tertebas. Si Anak ingin mengikuti jejaknya.

Tewas di tempat itu dan membawa kekalahan bagi kerajaan.

Satu tahun berlalu dan kedua kerajaan berdamai.

Sangat mudah.

Sang Putri yang terserang depresi berat, mengiyakan ketika Sang Ayah memintanya untuk menikah dengan Pangeran dari Klandestin.

Kemudian Sang Ibu.

Dia masih bergumam lirih,

“Nak, saat aku tua nanti. Maukah kamu membangunkan rumah dari emas untukku ?”

Sampai ajalnya tiba.

Ya, mereka semua. Semua manusia. Mereka ingin membangun rumah emasnya masing-masing.

Tapi, bagaimana menurutmu jika kukatakan,

“Suatu hari kamu akan bergumam lirih di dalam liang lahat,

"Seandainya aku tidak menghabiskan hidupku untuk membangun rumah itu."

*fin

Copyright

"GANG" A short Film

The Player 2 - Other Story